Lebaran tahun ini,
On the road ke rumah saudara, di jalanan tiba-tiba nostalgia. Ngelewatin jalur busway yang ke arah Tomang, keingat dulu pas mau iceskating+beli kado pernikahan Kak Nita di MTA. Sebenernya perjalanan pulangnya sih yang lebih berkesan. Why? Karena itu pertama kalinya gue dan kawan-kawan naik ‘busway sarden’ alias busway jam orang pulang kantor, yang saking penuhnya lo ga perlu pegangan pun ga bakal kenapa-napa; orang di kiri, kanan, depan, belakang, serong diagonal pun bakal mastiin lo ga akan jatuh. Sebelumnya ngak ada seorang pun dari kita berenam yang pernah naik busway dalam kondisi separah ini, cuma pernah denger cerita-cerita doang. Pas nyampe di dalamnya, setelah beberapa menit bertukaran tatapan-tatapan penuh horor, akhirnya pada cekakak-cekikik juga. Berenam akhirnya bikin lingkaran ato entah bentuk apa waktu itu yang berhasil kebikin, yang penting kita ga terpisah satu sama lain. Di tengah-tengah lingkaran serampangan kita, bak harta karun yang dijaga dengan taruhan nyawa, terletak bungkusan kantong plastik super besar yang berisi kado pernikahan Kak Nita. Bodo lah kita mau didorong, disikut, digencet sekalipun sama orang-orang disekitar kita, yang penting bungkusan kado tersebut tetap aman tak terjamah. Dan lebih epicnya lagi, meskipun kita dalam keadaan yang seekstrem itu, kita tetep aja bisa-bisanya masih ngobrol, ngelawak, ngegombal, bahkan main yang mainan pake jari ngangkat 1,2 itu lho, gue ga tau apa namanya, pokoknya kita yang paling heboh sendiri deh di busway itu. Seumur-umur gue belom pernah sebahagia itu padahal dalam kondisi kaki udah mau ambruk gara2 seharian dipake buat jalan+iceskating.
Lebaran tahun ini,
Dapat sms ucapan selamat lebaran dari orang yang ngak diduga. SMSnya kayak gini: “Selamat Idul Fitri 1432 H. Semoga puasa yang sudah dijalankan sebulan ini diterima oleh Allah SWT. Amin :) “
Sekilas, SMSnya terasa cukup simple, dan sangat teramat biasa-biasa aja, apalagi kalo mengingat berlusin-lusin sms yang udah gue terima yang intinya ya gitu-gitu juga. Tapi pas gue lihat pengirimnya, jujur gue langsung shock, tapi shocknya sambil tersenyum penuh bahagia (gile ye?). Ternyata yang ngirimin sms kali ini teman gue yang seorang Kristen.
Ga tau kenapa tapi momen-momen kayak gini nih yang selalu membekas banget di hati gue. Sampe sekarang pun gue masih ingat pas upacara bendera di SMA dulu, anak yang disamping gue seorang Kristen juga. Ga selalu dia sih, tapi biasanya dia. Selain karena anaknya emang luar biasa baik dan ramah, satu hal lagi yang bikin gue melabel dia sebagai anak yang ‘special’ bagi gue adalah setiap kali pembina upacara ato siapalah yang lagi ngomong di depan bilang “Assalmu’alaikum Wr. Wb.”, dia langsung jawab, tanpa malu-malu sedikitpun “Wa’alaikumsalam Wr. Wb.” Bahkan lebih lengkap dan jelas daripada kebanyakan anak-anak 21 lainnya yang memang beragama Islam. Dan satu hal lagi, saat doa pun dia ikutan. Pas bagian bahasa arabnya dia memang masih diam, tapi pas doanya mulai dlm bahasa Indonesia, dia ikut ngangkat tangan, dikepal di depan dada. Bukan dikepal juga sih, tapi ya cara berdoanya orang Kristen deh.
Kadang teman-teman gue yang ngeliat hal kyk gini juga bingung dan bertanya-tanya “Kenapa mereka ga sekalian jadi Muslim aja ya kalo udah kyk gitu?” Gue juga ga pernah bisa menjawab lebih dari sekedar “Entahlah, mungkin memang belum dibukakan pintunya sama Allah SWT.” Tapi jujur, bagi gue mereka mau menghormati dan bahkan menghayati Islam sampai sejauh itu pun udah senang dan terharu luar biasa. Rasanya gue pengen nunjukin ke orang-orang yang di Barat dan Timur Tengah sana: GINI LOH SEHARUSNYA ORANG YANG BERBEDA AGAMA BERINTERAKSI.
FYI, eyang uyut gue seorang Kristen. Pas nyekar dulu, mama tetap aja bacain al-fatihah dan ayat kursi di atas makamnya..
Lebaran tahun ini,
Entah kenapa berkesan banget pas denger mama bilang kata ‘papa’. Yang dimaksud dalam konteks ini bukan papah (ayahku), tapi papa (ayahnya ibuku).
Dulu gue pernah nonton sebuah film, tentang seorang anak yang ditinggal pergi sama ayahnya. Pas mereka akhirnya dipertemukan lagi, sang anak ga henti2nya bilang kata ‘ayah’ untuk memanggil ayahnya itu. Pas ditanya sama ayahnya kenapa si anak demen banget nyebut kata ‘ayah’, dia dengan polosnya menjawab “Habis, sejak aku kehilangan ayah, aku ngak pernah bisa make kata itu lagi sih. Kangen tau selama ini nggak bisa nyebut kata ‘ayah’, padahal anak2 lain bisa kapan aja bilang ayah. Ngerti kan, ‘yah? :)”
Gue jadi kepikiran, udah berapa lama ya mama nggak bisa menggunakan kata ‘papa’ dalam konteks yang seperti itu? Apa dia juga kangen? Gue sendiri belom pernah ketemu sama alm.kakekku yang satu ini (Beliau meninggal pas mama baru berumur 6 tahun. Pagi masih sehat sentosa. Malamnya ditembak di depan RSCM sepulang praktek. Oiya, beliau seorang dokter :) ) Tapi yang gue tau, mama sekarang bisa lebih sabar dan ikhlas ngejalanin hidup dibandingin papaku. Gue rasa itu sebagian besar karena mama udah pernah ngalamin dan ngelewatin hal yang sesulit ini.
Lebaran tahun ini,
Ngeliat dua eyang sepuh bertemu. Yang satu eyang sepuh dari keluarga dekat gue (adiknya eyang gue). Beliau diuji dengan penyakit Alzheimer. Yang satunya lagi eyang sepuh dari keluarga gue juga, tapi rada jauh hubungannya. Beliau diuji dengan kaki yang sudah mulai melemah, sehingga harus bergantung pada sebuah walker, serta tangan dan bahu anak-cucunya yang selalu siap sedia di sampingnya. Nenekku bilang, udah 5 tahun kedua eyangku ini ngak pernah bertemu. Gue kaget. Bukannya mereka dengan mudahnya bisa diantarin naik mobil aja? Tapi, ternyata ngak bisa semudah itu lagi dengan umur dan kondisi mereka yang seperti itu..
Jadi seharusnya gue ngak heran kali ya, pas mereka ketemu tadi udah kayak adegan dlm sebuah film. Mereka berdua mendekat dengan langkah perlahan. Bukan karena pengen sok romantis, tapi langkah mereka yang tertatih-tatih meskipun udah ditopang anggota keluarga masing-masing memang hanya mengizinkan mereka untuk bergerak dengan kecepatan yang sebatas itu. Ketika keduanya udah cukup dekat untuk bersentuhan, eyang sepuh yang dari keluarga jauh gue mengulurkan tangannya ke bahu eyang sepuh yang dari keluarga dekat gue. Mereka memandang satu sama lain. Dan mereka terdiam. Kebayang kan ya kalo orang biasa, 5 tahun ga ketemu gitu, hebohnya bakal kyk apa pas akhirnya reunian lagi. Tapi ini nggak ada sepatah kata pun yang keluar. Saudara-saudara gue yang lain udah pada asik ngobrol lagi, tapi mereka berdua masih aja terdiam. Memandang. Dan tiba-tiba menangis. Ga ada angin, ga ada ujan, bahkan mulut pun masih belum mengeluarkan kata-kata apapun. Tapi justru dalam satu momen keheningan itu, gue merasakan seluruh perasaan bahagia, terharu, rindu, dan kasih sayang mengalir secara jelas dari kedua eyang sepuhku itu.
Lebaran tahun ini,
Orang tua, saudara, teman-teman, bahkan orang-orang yang hubungannya hanya sebatas saudara sebangsa, benar-benar memberikan sebuah pelajaran yang ngak gue duga bakal gue dapat. Masing-masing menunjukkan kepada gue contoh yang begitu nyata tentang makna sebenarnya dari sebuah cinta. Cinta yang nyata itu terwujud dalam sebuah pengorbanan yang dijalani bersama-sama, dalam keinginan untuk tetap menghormati meski banyaknya perbedaan, dalam sebuah keikhlasan untuk melepaskan, dan dalam keheningan yang lebih bermakna daripada seribu kata. Semoga gue bisa senantiasa lebih peka dengan momen-momen kecil tapi berarti, kayak gini lagi.