Monday, October 1, 2012

Fotografi - Ilmu Penghentian Waktu

I've seen a lot of blank screens lately, but most of them were prior to college task-making activities, rarely (if ever) have I faced a blank screen for a blog post in a really really long time. So, taking that all in stride, I thought I'd post this little tidbit from my Philosophy class yesterday. It's not exactly the most awe-inspiring and mind rattling article out there for a philosophical piece (especially compared to the sufi-like scriptures of some of my other microcosmical-goddess-friends) but it's a start; both for my philosophical journey and for the revival of my blogging activities. Here we go:

Eksistensi kita di dunia ini tidak pernah ada hentinya (kecuali ketika maut menjemput). Setiap saat, detik-detik berlalu, menit-menit seolah melayang, dan kini lewatnya jam dan hari pun sudah tidak terasa lagi. Manusia hidup dalam masa yang serba-cepat, serba tergesa-gesa, serba tiba-tiba. Tiba-tiba sudah seminggu berlalu, tiba-tiba sudah berulang tahun lagi, tiba-tiba, tiba-tiba, tiba-tiba sudah meninggal..

Dalam era serba ketiba-tibaan seperti ini, terkadang semuanya terasa berjalan begitu saja. Hambar. Hampa. Bagaikan rujak yang diblender sehingga rasa dari masing-masing buah menjadi tidak teridentifikasi lagi. Padahal, terdapat begitu banyak peristiwa yang mewarnai dan memberikan rasa – baik asam, asin, manis, ataupun pahit – dalam kehidupan kita. Tetapi, dengan begitu cepatnya terpaan waktu yang berlalu, maka ingatan kita pun terkadang bagaikan pantai yang tergerus ombak. Jejak-jejak yang tadinya terbenam di pasir perlahan lenyap dengan setiap gelombang air yang kembali menyapu bersih permukaan pantai. Peristiwa-peristiwa yang terpenting dalam kehidupan kita menjadi seolah hilang tertelan ombak kehidupan.

Disinilah fotografi memainkan peran dalam kehidupan saya. Mengisi ruang-ruang kosong dalam alam pikiran yang entah bagaimana sudah terlupakan begitu saja. Melukiskan kembali peristiwa-peristiwa yang membuat saya bahagia untuk bisa dinostalgiakan di kemudian hari. Oleh karenanya, fotografi bagi saya tidak hanya sebatas seni, tetapi juga sebagai sebuah sistem pengarsipan memori. Andaikan setiap kenangan dalam hidup kita tersimpan dalam sebuah file cabinet raksasa, maka foto-foto itulah yang kemudian menjadi kunci bagi setiap kompartemen yang ada. Foto-foto itu yang menjadi katalisator bagi otak saya untuk mereka ulang kejadian-kejadian yang pernah saya alami, dan jika saya beruntung, mereka ulang perasaan yang saya rasakan pula ketika foto tersebut diambil. Kebahagiaan. Kesedihan. Ketenangan. Kesegalaan.

Bagi saya, seorang fotografer sejati bukanlah seseorang yang mendokumentasikan setiap saat secara terus-menerus, tetapi seorang fotografer sejati adalah mereka yang bisa merasakan momen yang tepat dan menyalurkan energi yang dirasakannya pada momen tersebut kepada jari-jari mereka untuk mengabadikannya. Teringat kembali hukum Newton mengenai kekekalan energi dimana energi tidak bisa diciptakan ataupun dihancurkan, hanya bisa ditransfer ke medium lain. Menurut saya, hal ini juga berlaku bagi fotografi. Terkadang energi dari sebuah senyuman yang terabadikan dalam sebuah lembaran foto ataupun rangkaian pixel bisa mengangkat ujung-ujung bibir kita untuk merekahkan kembali sebuah senyuman di lain hari.

Jika kehidupan manusia diibaratkan sebagai seonggok besi yang terus-menerus terciprati dan terkadang terguyur oleh berbagai hantaman cobaan, maka fotografi seolah membuat segala sesuatu terbuat dari stainless steel; senantiasa imun dari karat kehidupan. Inilah hal yang paling saya sukai dari fotografi. Keindahan yang bisa dinikmati sepanjang masa, tanpa adanya perubahan ataupun distorsi.