Saturday, December 18, 2010

what's the point?


“Rafael hanya bisa geleng-geleng kepala. Hati pribumi yang dia temui mungkin berbeda, tetapi otak mereka sama: tolol. Tidak memiliki hasrat dan rasa ingin tahu yang besar sebagaimana manusia dari peradaban maju seperti dirinya.”

E.S. Ito, Rahasia Meede

Kita adalah bangsa yang pasif. Bangsa yang terlalu sering mengelu-elukan kata ‘kemerdekaan’ persis karena kondisi itulah yang masih belum bisa kita capai hingga saat ini. Bangsa yang tidak hanya kalah sebelum perang, tetapi justru bersantai-santai di kemahnya sembari bermain-main dengan senjata yang dimilikinya. Bangsa yang terlalu mudah dipuaskan dengan pencapaian seadanya sehingga tidak ada sebersit pun rasa ingin lebih maju daripada yang lain. Bangsa yang anak-anaknya bahkan tidak pernah didorong untuk bertanya, berdiskusi, berdebat, ataupun mengutarakan pendapatnya sendiri karena telah dicekoki peraturan bahwa setiap jawaban adalah mutlak dan hanya bisa bersumber dari serangkaian pilihan-pilihan yang sudah ditentukan oleh segelintir orang-orang terpilih, sehingga ide-ide innovatif khas para kaum muda yang menjadi penggerak kemajuan bangsa-bangsa lain, justru diabaikan tanpa pertimbangan sesaat pun. Mungkin ini memang nasib para pemuda-pemudi Indonesia. Kami para pewaris negara yang bagaikan mobil tak berisi bensin ini; asalkan masih bisa memenuhi fungsi sebagai tempat berlindung, kami tidak akan peduli apakah mobil ini bisa jalan atau tidak, toh semuanya nampak sama bagi kami.

Entah kenapa hari ini lagi rada nasionalis gini. Mungkin efek dari baca novel Indo untuk pertama kalinya? Can’t say for sure really. Tapi lama-lama emang prihatin sih. Indonesia emang negara yang berkembang, tapi adatnya masih kayak orang terbelakang. Liat aja, fasilitas umum kita mana ada yang tahan lebih dari setahun? Tempat sampah udah di depan mata tapi masih aja buang sampah sembarangan. Seperti yang ibuku sering bilang, "Mental negara maju, itu yang masih belum kita punya.”

It’s true that we’re not supposed to be too absorbed with the riches of this world – being a Muslim, this is a very familiar concept for me that’s quite frequently stressed upon in the Qur’an – but that doesn’t mean that we should sell every last handful of this land we supposedly call our nation into foreign hands; I wouldn’t even call it selling really, since what we receive in payment is nowhere near to the value of what we have given to these gold-adorned thieves. Besides, I don’t think it really fulfills the purpose of staying away from materialistic desires if this all too philanthropic act of giving away our invaluable resources – both natural and human – is actually forcing our citizens to have to strive even harder just to make enough to live. I mean think about it, if we’re letting go of all these resources that should’ve been meant to ensure the welfare of our citizens, then that means they’ll just be more forced to look for money in other, less convenient places. In some of the more fatal cases, most of them will end up being directors or ministers in charge of the fundamental building blocks of our society. But they will not do so because they have an undying passion to pursue the nation’s interest in that certain field they are responsible for. Most will simply do it is a means of putting rice on the table. And so it is that this great nation of ours is left devoid of leaders with any will to bring any significant development to this country. 

I realize that there have been others who have brought this issue to light in more elaborate and eloquent expositions than mine, but for some reason much still hasn’t changed. For what it’s worth, at least this writing can become a reminder for me that this nation needs me more than ever. Needs all of us more than ever. And if not that, then paling nggak hari ini sudah bisa lebih produktif karena tidak diselimuti pusing dan demam lagi. Maaf bagi semua yang terkena imbas mood burukku kemarin..

*note to self: Indoglishnya semakin parah ini sih -_-

No comments: